Zakat dan Kesejahteraan Ekonomi

Suatu hal yang banyak diyakini kalangan para ekonom dan bisnisman bahwa aktivitas ekonomi (bisnis) dan aktivitas yang bersifat sosial adalah sesuatu yang berbeda, yang tidak terkait antara satu dengan yang lainnya. Tujuan berekonomi adalah untuk memberikan kesejahteraan dan atau pencapaian kejayaan pada kehidupan bermasyarakat, dan tentunya hal ini sangat terkait dengan sesuatu yang bersifat keduniaan, yang jauh dari norma-norma religius keagamaan. Sedang aktivitas sosial dianggap lebih cenderung kepada tuntutan untuk menegakkan norma-norma bermasyarakat, yang memiliki pencapaian akhir pada keinginan untuk memenuhi kebutuhan akhiratnya.

Pendapat di atas mungkin benar jika ditujukan kepada agama dan kepercayaan-kepercayaan lain yang memisahkan antara urusan ibadah keagamaan dengan urusan berekonomi, yang dianggap sebagai bentuk komersialisasi yang bersifat keduniaan. Tetapi hal ini akan berbeda dengan Islam yang melihat bahwa aqidah, syari’ah dan mu’amalah serta akhlak adalah salah satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari sistem Islam itu sendiri. Hubungan diantaranya terjalin sedemikian rupa sehingga merupakan suatu sistem yang integral dan comprehensive.

Islam tidak hanya menuntut umatnya untuk sekedar menjalankan ibadah ritual yang bersifat mahdhoh, ibadah yang hanya bertendensi pada akhirat saja, atau yang hanya bertujuan pada penciptaan hubungan kepada sang Khaliq (mu’amalat ma’al khalqi). Tetapi, Islam juga mengatur adanya ketentuan tuntutan kepada umatnya untuk melakukan kegiatan yang bersifat keduniaan, sebagai bentuk proses untuk pencapaian tujuan akhiratnya. Antara kegiatan yang bersifat duniawi dan kegiatan yang bersifat ukhrawi dapat berjalan bersamaan melingkupi dalam satu kegiatan. Islam memberikan fasilitas hal tersebut pada suatu instrumen salah satunya adalah zakat, yang memadukan dua dimensi, yaitu duniawi dan ukhrawi.

Zakat merupakan kegiatan ibadah yang memiliki dua unsur penciptaan hubungan, yaitu hubungan kepada sang khaliq (hablum minaallah), dan hubungan kepada sesama manusia (hablum minannaas). Yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap individu. Di satu sisi zakat memberikan tuntutan atas hak dan kewajibannya kepada Allah Swt, yang merupakan nilai religius keagamaan. Dan pada sisi lain, zakat terdapat tuntutan atas hak dan kewajiban kepada sesama manusia, yang merupakan unsur penciptaan nilai-nilai sosial.

Keadilan Zakat

Pengambilan zakat pada setiap harta yang terdapat kelebihan meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat khas yang digunakan untuk menghapus kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan bagi pemilik harta akan beban tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Dalam bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir orang (MA. Mannan, 1992) yang berakibat pada tertahannya proses distribusi ekonomi, tentunya akan menciptakan kepincangan-kepincangan di dalam kegiatan ekonomi masyarakat.

Instrumen yang ditawarkan Islam ini merupakan perwujudan dari aspek moral yang menekankan kepada nilai keadilan, yang menjadi ajaran dasar yang terdapat di dalam al-Qur’an, dan salah satu bentuknya adalah terlihat pada keadilan sosial ekonomi. Konsep keadilan sosial ekonomi dalam perspektif Islam didasarkan pada ajaran persaudaraan yang melampaui batas-batas geografis, suku, agama, dan ras. Hal ini dapat menciptakan hubungan antara sesama manusia hidup berdampingan secara damai dan bersahabat, walaupun memiliki perbedaan yang cukup mendasar (Akmal Tarigan, 2002). Tentunya ini dapat diartikan sebagai bentuk dari universalitas Islam sebagai rahmat bagi semua orang/umat (rahmatan lil ‘alamin).

Persaudaraan yang merupakan bagian integral dari konsep tauhid dan khilafah akan tetap menjadi konsep kosong yang tidak memiliki subtansi, jika tidak dibarengi dengan keadilan sosial ekonomi. Keadilan telah dipandang oleh para fuqaha sebagai isi pokok dari maqasyid syri’ah (tujuan syari’ah) (Umer Chapra, 2000), yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh manusia, yang terletak pada perlindungan keimanan (dien) mereka, manusia (nafs), akal mereka (aql), keturunan mereka (nasl), dan kekayaan mereka (maal) (Umer Chapra, 2001). Sehingga mustahil melihat sebuah masyarakat muslim, yang tidak menegakkan keadilan di dalamnya. Islam tegas sekali dalam menegakkan tujuannya menghapuskan semua bentuk kedzaliman dari masyarakat.

Keadilan sosial ekonomi (economic social justice) mengandung pengertian bahwa Islam sangat menekankan persamaan manusia (egalitarianisme) dan menghindarkan segala bentuk kepincangan sosial yang berpangkal dari kepincangan ekonomi, seperti eksploitasi, keserakahan, konsentrasi harta pada segelintir orang dan lain-lain.

Terciptanya keadilan sosial ekonomi akan dapat menghindarkan manusia dari kesenjangan-kesenjangan diantara sesamanya, salah satunya adalah kesenjangan pendapatan dalam masyarakat. Tentunya ini berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan. Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam (M. Syafi’i Antonio, 1999). Diantaranya adalah dengan:

  1. Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu.
  2. Menjamin hak dan kesempatan kepada semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi maupun konsumsi.
  3. Menjamin pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic needs fulfillment) setiap anggota masyarakat.
  4. Melaksanakan al-takaful al-ijtima’ (social economic security insurance) di mana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu.

Dengan cara ini diharapkan, standar kehidupan setiap individu akan lebih terjamin. Sisi manusiawi dan kehormatan setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan harkat dan mertabat yang telah melekat pada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Namun, tidak dapat di sangkal bahwa perbedaan dalam pendapatan harta (kekayaan) merupakan sesuatu yang wajar, yang dapat terjadi di setiap masyarakat. Antara individu satu dengan yang lain tidak harus memiliki kesamaan atau secara merata sama harta kekayaannya. Inilah yang membolehkan adanya kekayaan pribadi dan inisiatif individual dalam semua aktivitas kehidupan. Islam tidak mengekang kebebasan individu untuk pencapaian keinginan pribadinya dan membolehkan kepemilikan pribadi, tetapi tidak menciptakan golongan miskin ke dalam jurang pemisah dengan golongan kaya tanpa tiada dijembatani, hal ini akan berakibat kepada kecemburuan sosial di masyarakat. Islam menjaga ketidakmerataan ekonomi kedalam batas-batas yang alami dan wajar (Afzalurrahman, 1997). Dibolehkannya pemilikan pribadi dan ketidakmerataan ekonomi masih dalam batas-batas yang adil dalam masyarakat. Ini dimaksudkan untuk menyediakan kesempatan bagi individu untuk mengembangkan dan memanfaatkan kualitas kemuliaan dirinya.

Untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi di dalam bermasyarakat, instrumen zakat merupakan salah satu jawaban yang akan dapat mewujudkan semua itu. Zakat dapat menjadi penunjang pembangunan ekonomi masyarakat. Karena di dalam instrumen zakat tercipta semangat tolong menolong (ta’awun), dan mengandung unsur pemenuhan kewajiban individu untuk memberikan tanggung jawabnya kepada masyarakat. Individu diharapkan secara semestinya dan efisien melaksanakan setiap kewajiban yang dipercayakan padanya demi kemaslahatan umum.

Zakat bila ditunaikan dengan baik akan meningkatkan kualitas keimanan, membersihkan dan menyucikan jiwa, dan mengembangkan serta memberkahkan harta yang dimiliki. Jika dikelola dengan baik dan amanah, zakat akan mampu meningkatkan kesejahteraan umat, mampu meningkatkan etos dan etika kerja, serta sebagai institusi pemerataan ekonomi. (Didin Hafidhuddin, 2002)

Kebutuhan hidup masyarakat ekonomi lemah (masakin) akan dapat terjamin dengan diberikan zakat kepada mereka, bila hal inipun dilakukan pengelolaan terhadap zakat tersebut dengan benar. Diberlakukannya instrumen zakat digunakan sebagai alat untuk menghapuskan, atau paling tidak dapat meminimalisir tingkat kemiskinan yang menjangkit dilingkungan masyarakat. Kemiskinan dalam konsep Islam adalah tidak terpenuhinya alat pemuas yang bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer; yaitu sandang, pangan dan papan, selain itu dianggap sebagai kebutuhan sekunder. Orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya tidak dianggap sebagai orang miskin.(Taqiyudin Nabani, 1996)

Dalam sistem ekonomi kapitalis, kemiskinan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang relatif (nisbi), dan bukannya sebutan untuk kondisi tertentu yang bersifat tetap dan tidak berubah-ubah. Oleh karena itu mereka menganggap, bahwa kemiskinan adalah adanya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan barang dan jasa. Arti tingkat standar kemiskinan akan berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi disuatu daerah atau negara. Berbeda antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang batas dari standar kemiskinan tersebut. Tidak terpenuhinya kebutuhan sekunder di Eropa dan Amirika sudah dianggap miskin, namun ketika kasus tidak terpenuhinya kebutuhan sekunder tersebut terjadi di Indonesia tetap tidak dianggap miskin.

Pada awal tegaknya Islam, zakat hanya meliputi zakat pertanian, zakat peternakan, zakat perdagangan, zakat emas dan perak, dan zakat harta terpendam. Seiring dengan perkembangan ekonomi, sumber zakatpun mengalami perkembangan berdasarkan dalil ijmali dan qiyas (analogi). Zakat pada zaman modern dapat diterapkan pada segala sesuatu yang sekiranya dapat menghasilkan pendapatan atau laba. Misalnya, beban kewajiban zakat dapat diambil pada keuntungan dari sebuah perusahaan, zakat atas pendapatan gaji seseorang (zakat profesi), pengambilan zakat pada surat-surat berharga, zakat perdagangan uang (money changer) dan zakat sektor-sektor modern lain.

Perkembangan ekonomi pada masyarakat modern mempengaruhi terhadap perkembangan objek wajib zakat, yang semakin luas dan dapat dibebankan pada seluruh aspek ekonomi yang dapat memberikan pemasukan pendapatan seseorang yang terdapat kelebihan hartanya atau telah mencapai pada ketentuan batas nishab zakat.

Zakat dan Pajak

Pada zaman keemasan Islam, zakat telah terbukti berperan sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan umat. Zakat tidak hanya sekedar sebagai sebuah kewajiban, tetapi lebih dari pada itu, zakat dikelola dengan baik dan didistribusikan secara merata hingga sampai ke tangan yang berhak. Zakat pada saaat itu telah menjadi sumber pemasukan negara yang kemudian dijadikan sebagai alat penggerak ekonomi masyarakat miskin. Zakat tidak hanya diberikan kepada masyarakat dengan bersifat konsumtif, tetapi zakat dapat diberikan kepada masyarakat dengan digunakan untuk hal yang bersifat produktif, sehingga harta atas pemberian zakat tersebut tidak langsung habis dan justru akan dapat berkembang sebagai penopang kehidupan ekonomi masyarakat selanjutnya.

Pembebanan wajib zakat yang yang diambil pada harta setiap orang sekilas mirip dengan pembebanan yang diberlakukan pada masyarakat atas pajak, yang menjadi sumber pemasukan negara. Seperti pendapat Masdar F. Mas’udi yang mengatakan bahwa jika zakat merupakan aspek spiritual dari perintah Allah untuk menafkahkan harta secara baik dan benar, maka pajak merupakan upaya institusionalisasi perintah tersebut (Ghazi Inayah, 2003). jika seseorang telah melakukan pembayaran terhadap beban wajib pajak, maka tidak ada tanggungan kewajiban lagi untuk mengeluarkan zakat pada hartanya. Dengan membayar pajak berarti orang tersebut telah mengeluarkan zakat.

Berbeda dengan pendapat umum yang mensinyalir adanya perbedaan antara zakat dengan pajak. Bagi orang yang telah mengeluarkan zakat masih mempunyai kewajiban untuk membayar pajak yang dibebankan pemerintah kepada setiap individu masyarakat. Pembayaran pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui undang-undangnya wajib ditunaikan oleh masyarakat muslim, selama itu untuk kepantingan pembangunan di berbagai bidang dan sektor kehidupan yang dibutuhkan masyarakat secara lebih luas. maka bagi kaum muslimin mempunyai dua kewajiban yaitu kewajiban menunaikan zakat dan pajak sekaligus.

Hanya saja seperti yang dikemukakan dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat bab IV pasal 14 ayat (3) bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/ pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pada pasal (9) ayat (1) dikemukakan bahwa untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha, tetap tidak boleh dikurangkan: (g). harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah.

Kedua undang-undang tersebut merupakan upaya maksimal untuk mengakomodasi kaum muslimin Indonesia agar pembayaran zakat didahulukan daripada pajak, sekaligus zakat tersebut dapat mengurangi biaya pembayaran pajak. (www.pkesinteraktif.com)

Oleh : A. Bahrul Muhtasib

Ditulis dari berbagai sumber dan rujukan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KH. Ahmad Dahlan: Tokoh Pembaru Islam Indonesia dan Pendiri Muhammadiyah

Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman

Masjid Al-Inayah Cipedak, Jagakarsa