Kontribusi Ibadah Haji Bagi Kesejahteraan Umat

(Analisis Terhadap Pensyariatan Al-Hadyu)
Oleh: Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML
Pendahuluan
Jutaan umat Islam dari berbagai pelosok dunia setiap tahun berdatnagn ke Tanah Suci Makkaratul Mukarramah Saudi Arabia, untuk melaksanakan rukun Islam ke lima, ibadah haji yang wajib mereka tunaikan. Penyelenggaraan ibadah ini sudah merupakan tradisi tahunan yang melibatkan berbagai pihak, dengan Pemerintah Saudi sebagai pihak penyelenggara utama dan tuan rumah.
Dari tahun ke tahun, grafik jemaah haji menunjukkan peningkatan cukup tinggi. Bahkan untuk musim haji 1415 H/1995 M, menurut siaran pers Departemen Agama RI, diperkirakan lebih kurang 200.000 Muslim hendak pergi ke Tanah Suci. Suatu rekor paling tinggi dibandingkan dengan angka pada tahun-tahun silam. Meningkatnya calon jemaah haji tersebut sungguh sangat menggembirakan. Sebab, bukan saja hal itu menunjukkan kesadaran keberagamaan umat Islam semakin tinggi, tetapi juga merupakan suatu indikasi bahwa kesejahteraan dan keadaan ekonomi mereka senantiasa meningkat. Ini mengingat ibadah yang dilaksanakan di Mekah tersebut diwajibkan atas mereka yang telah memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain istita’ah (kemampuan), sebagaimana dijelaskan firman Allah Swt:
....Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah....” (QS. Ali Imran [3];97).
Termasuk di dalamnya, dan ini merupakan unsur cukup vital, kemampuan dalam bidang dana dan biaya yang memadai. Baik dana untuk keperluan transportasi dan bekal selama dalam perjalanan, maupun biaya untuk keluarga yang ditinggalkan di rumah. Ini tinjauan dari satu sisi.
Dari sisi lain, ibadah haji merupakan sebuah sumber yang memancarkan berkat dan keuntungan material kepada tidak sedikit umat manusia. Keberkatan itu ada yang hanya merupakan “akibat sampingan” tak terelakkan dari sistem dan realita penyelenggaraan haji, seperti yang diterima oleh instansi dan pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelenggarannya, para pedagang, pengusaha bagi pemenuhan keperluan jamaah haji dan sebagainya. Ada pula keberkatan yang memang ingin direalisasikan oleh (sebagian ‘amal) pelaksanaannya, sebagai salah satu upaya pemakmuran (sebagian) umat yang dicanangkan ajaran Islam. Keberkatan yang disebutkan terakhir ini terwujudkan dalam bentuk pemberian al-hadyu (jenis hewan ternak tertentu) dengan berbagai macamnya kepada kaum fakir miskin, saebagaimana disyariatkan Allah atas mereka yang tengah menunaikan ibadah tersebut.
Keuntungan dari jenis pertama hanya dapat dinikmati dan dirasakan oleh individu dan pihak-pihak tertentu. Dan ini sulit diupayakan menjadi sarana langsung bagi program pemakmuran umat, mengingat hal itu tidak “diciptakan” dan dimaksudkan oleh sistem penyelenggaraan ibadah haji, melainkan semata-mata merupakan ekses tak terhindarkan daripadanya. Demikian pula keberkatan jenis kedua (al-hadyu) tak jauh berbeda “nasibnya” dengan jenis pertama. Bersifat relatif dan terbatas. Belum menunjukkan sebagai sarana peningkatan kesejahteraan umat seperti yang diharapkan.
Selama ini, pemanfaatan al-hadyu masih bersifat konsumtif dan terbatas hanya diperuntukkan fuqara’ dan masakin penduduk Mekah. Barulah beberapa tahun terakhir Pemerintah Saudi, melalui jasa sebuah bank, mendistribusikannya, baik dalam bentuk daging kalengan maupun yang dieskan ke beberapa negeri Islam yang dipandang masih berada dalam kategori dunia ketiga. Apa yang ditempuh Pemerintah Saudi ini merupakan pengembangan dan terobosan baru dari teknis pemanfaatan al-hadyu yang perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Dikatakan “terobosan baru” karena dalam buku-buku fiqh dijelaskan bahwa hewan al-hadyu harus dipotong di Tanah Haram dan dagingnya harus dibagikan kepada fakir miskin Tanah Haram, bukan fakir miskin yang berada di luar Tanah Haram. Akan tetapi, menurut satu qaul dari kalangan mazhab Syafi’i, memotong hewan al-hadyu di luar Tanah Haram dibolehkan dengan syarat dagingnya segera dikirimkan ke Tanah Haram dalam keadaan segar (terjamin kesegarannya).
Tegasnya, apa yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi dengan mengirimkan daging al-hadyu ke luar (negeri) itulah yang dipandang suatu terobosan yang menunjukkan bahwa pensyariatan al-hadyu itu ma’qul al-ma’na, bukan ta’abbudi.
Sungguhpun demikian, mengingat hal tersebut masih tetap bersifat konsumtif, tentunya kebijaksanaan yang ditempuh Pemerintah Saudi itu masih sulit diharapkan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam arti sebenarnya. Karena, kebutuhan umat Islam di luar (negeri) Arab saudi pada umumnya bukan lagi pada soal makanan, akan tetapi pada kebutuhan yang sangat penting sekali, yaitu peningkatan pendidikan dan pengentasan kemiskinan menuju taraf hidup yang lebih baik.
Atas dasar itu, apakah teknis pemanfaatan yang telah dirintis itu tidak dapat dikembangkan lebih lanjut? Apakah terhadap ajaran al-hadyu tersebut masih terbuka reinterpretasi melalui penelusuran dan penggalian ruh dan tujuan pensyariatannya, sehingga ia dapat diupayakan dan dijadikan sebagai salah satu media efektif bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan umat Islam yang dewasa ini masih tertinggal jauh dari umat lain dalam segala lapangan kehidupan.
Tulisan sederhana ini dimaksudkan sebagai sumbangan dan bahan pemikiran yang perlu didiskusikan bersama mengenai persoalan tersebut. Namun mengingat hal itu tidak dapat lepas dari Mekah, tempat di mana ibadah haji dilangsungkan dan sekaligus yang secara langsung hendak dimakmurkan melalui pelaksanaannya - pembicaraan ini akan dimulai, sekalipun hanya sepintas – dari ibadah itu sendiri dan kondisi Mekah, tempat yang menjadi pusat kegiatan duniawi dan ukhrowi di Jazirah Arab.
Ibadah Haji dan Kondisi Mekah
Dalam terminologi ajaran Islam, haji adalah kunjungan menuju Baitullah dan tempat-tempat syi’ar keagamaan yang lain, pada waktu-waktu tertentu, untuk melaksanakan bentuk-bentuk ibadah tertentu karena Allah. Ibadah yang dilakukan mulai dari bulan Syawal, Dzulqaidah dan puncaknya pada bulan Dzulhijjah ini tidak hanya dikenal dalam syariat Muhammad Saw, melainkan telah dikenal lama dalam ajaran agama yang dibawa para Nabi terdahulu. Dan atas perintah wahyu Allah, syariat ini dikumandangkan dengan oleh Nabi Ibrahim, segera setelah ia bersama putranya Ismail membangun kembali Baitullah yang rusak dilanda banjir Nabi Nuh, sebagaimana diceritakan dalam firman-Nya:
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, tentu mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang sudah lemah, yang datang dari segenap penjuru (dunia) yang jauh,” (QS. Al-Hajj [22]: 27).
Jika dihayati dan direnungkan secara seksama dan mendalam, haji bukanlah murni semata sebagai ibadah kepada Allah, tetapi juga merupakan proyeksi pengenangan dan rekonstruksi sejarah dari peristiwa-peristiwa penting yang dialami oleh para pendahulu kita, Adam, Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar, dengan mengambil lokasi yang ditentukan oleh Allah. Tanah Suci, Masjidil Haram, Mas’a (jarak antara bukit Safa dan bukit Marwah), Arafah, Masy’ar (suatu tempat yang terletak di antara Arafah dan dengan Mina), Mina, Safa, Marwah dan sebagainya. Dipilihnya kawasan Mekah sebagai lokasi ibadah haji tentu bukan tanpa alasan, tetapi mengandung rahasia besar, latar belakang, hikmah, dan tujuan penting.
Mekah adalah suatu daerah yang terletak di tengah-tengah jazirah Arabia. Daerah ini, sebagaimana diketahui, terdiri atas perbukitan terjal dan sebagian besar padang pasir tandus gersang. Tidak dapat tumbuh atau ditanami sesuatu tumbuhan yang layak dijadikan makanan manusia. Makanan pokok jenis nabati sulit, kalau dikatakan mustahil ditemukan di sana. Karena itu, ketika Nabi Ibrahim atas perintah Allah menempatkan putranya Isma’il dan ibunya Hajar di sana, ia memohon kepada Allah agar kawasan itu menjadi subur, sehingga para penduduk di sana nanti dapat bertahan hidup. Ini sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran:
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur,” (QS. Ibrahim [14]:37).
Pada bagian lain dalam Al-Quran, Allah menceritakan pula doa Nabi Ibrahim:
Dan( ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhan kami, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian...” (QS. Al-Baqarah [2]:126).
Doa Nabi Ibrahim didengar Tuhan, Tuhan memerintahkan kepadanya dan kepda semua pemeluk agama Allah agar melaksanakan ibadah haji di Mekah. Dan perintah itu terus berlaku dalam syariat agama samawi terakhir yang dibawa Muhammad Saw. Dengan berdatangannya umat Islam dari berbagai penjuru dunia ke Mekah ini sudah barang tentu tidak dengan tangan hampa, tetapi membawa perbekalan cukup, bahkan lebih dari keperluannya, seperti makanan pokok, buah-buahan dan sebagainya. Hal ini, secara langsung atau tidak, dapat menjadi sebab kelangsungan hidup penduduk setempat, terutama kaum fakir miskin. Sehingga karenanya, mereka yang tinggal dikawasan tandus dan gersang itu tidak lagi dikhawatirkan tertimpa kelaparan atau kekurangan sandang pangan.
Pensyariatan Al-Hadyu
Untuk lebih meningkatkan kesejahteraan penduduk Mekah yang lemah, golongan fakir miskin, melalui ibadah haji, Allah mensyariatkan pula al-hadyu sebagai bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan haji. Al-hadyu adalah hewan ternak tertentu yang disyariatkan untuk dibawa dan diberikan ke Tanah Suci (dan kemudian dipotong di sana), sebagai sarana mendekatkan diri (taqarrub, ibadah) kepada Allah. Hewan ternak dimaksud adalah unta, sapi dan kambing, jantan maupun betina. Tegasnya, al-hadyu adalah (semacam) oleh-oleh berupa hewan yang dianjurkan dibawa oleh jemaah haji guna diberikan kepada fakir miskin Mekah.
Dilihat dari segi jenisnya, al-hadyu (hadyu) terbagi menjadi tiga macam, hadyu wajib, hadyu nazar dan hadyu tatawwu’ (sunnah, anjuran). Jenis pertama adalah hadyu wajib dilaksanakan karena:
1. cara melaksanakan haji dan umrah, yaitu disebabkan melaksanakan qiran (ihram dengan niat untuk haji dan umrah sekaligus) dan haji tamattu’ (salah satu cara penunaian haji dengan ihram untuk umrah lebih dahulu, setelah selesai umrah baru kemudian ihram lagi untuk haji dari Mekah. Dalam haji tamattu’ ini, setelah selesai umrah sudah boleh memotong hadyu [dam[ sekalipun belum melaksanakan ihram untuk haji dari Mekah),
2. tidak dapat menyelesaikan ibadah haji karena ihsar,
3. meninggalkan salah satu kewajiban haji, dan
4. melanggar hal-hal yang dilarang karena (sedang melaksanakan) ihram.
Mengenai hadyu wajib ini, antara lain, ditegaskan dalam firman Allah:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) al-hadyu yang mudah didapat, dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum al-hadyu sampai di tempat (penyembelihan)-nya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atas-nya berfidyah, yaitu berpuasa dan bersedekah atau memotong hewan. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), maka (wajiblah ia menyembelih) al-hadyu yang mudah didapat...” (QS. Al-Baqarah [2]:196).
Yang dimaksud dengan hadyu nazar ialah hadyu yang dinazarkan karena Allah oleh seseorang untuk dilaksanakan ketika sedang ibadah haji. Hadyu jenis inipun hukumnya menjadi wajib, berdasarkan firman Allah:
“...Dan hendaklah mereka memenuhi nazar-nazarnya....” (QS. Al-Hajj [22]:29).
Sedangkan yang dimaksud dengan dengan hadyu tatawwu’ ialah hadyu yang dianjurkan oleh Rasulullah. Yakni, selain kedua kategori hadyu di atas. Dalam rangka memberikan tuntunan dan semangat berhadyu kepada umatnya, Rasulullah telah memberikan hadyu untuk (penduduk) Tanah Haram sebanyak seratus ekor unta. Enam puluh tiga di antaranya dipotong langsung oleh tangan beliau sendiri, sedangkan sisanya dipotongkan oleh Ali bin Abi Thalib.
Pada zaman Rasulullah, sahabat dan tabi’in, unta adalah jenis hewan terbaik (afdal) untuk dijadikan hadyu. Sebab, pada masa itu hewan tersebut merupakan hewan kebanggaan yang paling digemari banyak orang. Namun dewasa ini, orang tidak lagi begitu menyukai makan daging unta. Mereka lebih tertarik makan daging sapi atau kambing. Karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Abdul Gafur ‘Attar, jenis hewan yang paling afdal untuk dijadikan hadyu mengalami pergeseran, sejalan dengan perubahan zaman dan selera. Apa yang paling bermanfaat bagi manusia, maka itulah yang paling afdal. Dengan demikian, persoalan ke-afdal-an ini adalah relatif.
Terlepas dari jenis hewan apa yang dijadikan hadyu, ajaran Islam menganjurkan agar hewan-hewan tersebut merupakan hewan pilihan. Hewan yang sehat dan gemuk yang disukai orang. Bukan hewan cacat, sakit atau kurus yang tak layak dimakan, bahkan si pemebri pun tak mau memakannya. Anjuran demikian bukan berarti Allah memerlukan yang baik-baik untuk diri-Nya sendiri. Sama sekali Allah tidak memerlukannya. Tetapi semua itu demi kepentingan manusia sendiri, terutama kaum fakir miskin sebagai pihak penerimanya.
Berbeda dengan ajaran al-hadyu dan berkorban dalam agama di luar Islam, di mana korban-korban itu – baik berupa hewan, manusia atau lainnya – diperuntukkan dan demi kepentingan (bahkan untuk menjadi makanan) tuhan sebagaimana diyakini para pemluknya, pensyariatan hadyu dalam Islam adalah untuk kepentingan dan kessejahteraan umat manusia bukan untuk kepentingan Tuhan. Sebab, yang diperlukan oleh Allah – dalam arti yang dinilai-Nya dalam hadyu yang kemudian pelakunya diberi pahala, dan inipun jelas untuk kepentingan dan kemanfaatan pelaku – adalah kadar ketakwaannya. Berkenaan dengan hal ini Allah berfirman:
“Dan telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya; maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya...”(QS. Al-Hajj [22]:36-37).
Ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa yang dinilai oleh Allah dalam penunaian hadyu adalah ketakwaan, sedangkan kemanfaatannya adalah untuk manusia yaitu kaum yang tidak mampu, bukan untuk Allah, dengan bukti bahwa pemberian sendiri dianjurkan memakannya pula. Dalam surat yang sama Allah berfirman:
“...Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebagiannya dan( sebagiannya lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir,” (QS. Al-Hajj [22]:28).
Dalam hadis Nabi dijelaskan pula bahwa pemberi hadyu disunatkan memakan (sebagian) dagingnya. Tetapi ini hanya berlaku pada hadyu tatawwu’ dan hadyu wajib, sedangkan hadyu nazar ia tidak boleh turut memakannya.
Dengan memperhatikan uraian di atas, jelaslah bahwa pensyariatan hadyu adalah untuk kesejahteraan kaum lemah penduduk Mekah yang tentunya tidak sedikit jumlahnya. Kesejahteraan yang dimaksud di sini pun terbatas hanya menyangkut persoalan pangan/makanan yang sangat mereka butuhkan, mengingat kawasan itu merupakan daerah tandus dan gersang. Sungguh hal itu merupakan suatu pensyariatan sangat bijaksana dan logis.
Reinterpretasi Pensyariatan al-Hadyu
Pada abad terakhir ini diwilayah Saudi Arabia, negara yang Mekah merupakan bagiannya, yang tandus dan gersang telah ditemukan ladang minyak yang menghasilkan jutaan gallon. Dengan ditemukannya bahan komoditi yang sangat potensial itu, negeri tersebut menjadi kaya raya. Kehidupan penduduknya telah berkecukupan, bahkan lebih dari sekedar makmur dan sejahtera. Tidak lagi kekuarangan sandang atau pangan. Sulit didapatkan di sana adanya penduduk yang miskin atau kekurangan, kalau tidak dikatakan tidak ada sama sekali. Namun pada saat yang sama, jutaan umat Islam di berbagai belahan dunia masih banyak yang sedang bergulat untuk mempertahankan hidup, atau paling tidak, masih banyak yang terbelakang. Mereka memerlukan dana cukup besar untuk mebiayai pendidikan serta membangun lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan syi’ar-syi’ar Islam lainnya.
Lalu bagaimanakah kenyataan seperti itu jika dihubungkan dengan pensyariatan hadyu, yang tujuan utamanya merupakan suatu isyarat untuk menyejahterakan kaum fakir miskin Mekah? Apakah ajaran tersebut kini tidak perlu diberlakukan lagi? Andaikata tetap berlaku, masih haruskah ia berupa hewan yang dipotong? Dapatkah ia diwujudkan dalam bentuk dana yang didistribusikan untuk membiayai kepentingan mendesak umat Islam di luar Saudi? Itulah beberapa persoalan yang sudah seharusnya mendapat perhatian dan pemikiran secara serius dari para tokoh, pakar dan pemimpin umat Islam.
Dalam meresponi persoalan tersebut, perlulah kiranya dikemukakan di sini dua kaidah yang berlaku dalam hukum Islam, yaitu tentang perubahan hukum (taghayyur al-ahkam) dan pendekatan ta’abbudi – ta’aqquli dalam memahami pensyariatan hukum Islam.
Persoalan perubahan hukum dibicarakan oleh para ulama dalam kajian Qawaid Fiqhiyyah, kaidah-kaidah fiqh. Dalam Qawaid Fiqhiyyah ditegaskan bahwa hukum dapat berubah disebabkan perubahan situasi dan kondisi (taghayyurul ahkam bi taghayyuril amkinati wal zaman). Situasi dan kondisi, atau menurut istilah lain disebut dengan “sebab”, yang dapat membawa perubahan hukum tersebut dirumuskan oleh para ulama dengan istilah:
1. as-safar (sedang dalam perjalanan),
2. al-maradh (sakit),
3. al-ikrah (dipaksa, terpaksa),
4. al-nisyan (lupa),
5. al-jahl (tidak mengetahui hukum),
6. al-‘usr wa ‘umumul balwa (kesulitan untuk menghindarkan sesuatu yang seharusnya dihindarkan),
7. ‘adamul qudrah (ketidakmampuan).
Faktor-faktr yang menyebabkan perubahan hukum ini telah ditegaskan dalam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis.
Apabila suatu hukum ditetapkan untuk situasi dan kondisi tertentu maka ketika situasi dan kondisi itu berubah, hukum pun menjadi berubah. Dengan kata lain, setiap situasi mempunyai hukum sendiri. Perubahan ini dapat berbentuk (1) isqat (pengguguran hukum), seperti gugurnya kewajiban haji bagi orang yang tidak mampu, (2) naqs (pengurangan hukum), seperti shalat qasar, (3) ibdal (penggantian hukum), seperti wudhu diganti dengan tayamum bagi orang sakit, (4) taqdim (penyegeraan hukum) seperti shalat jamak taqdim di Arafah ketika sedang haji dan mengeluarkan zakat sebelum haul, (5) ta’khir (penundaan hukum), seperti shalat jamak ta’khir di Muzdalifah ketika sedang haji dan pengunduran pelaksanaan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan, (6) tarkhis (pembolehan melakukan hal-hal yang dilarang), seperti memakan babi bagi orang yang sangat kelaparan dan minum khamr bagi orang yang tercekik makanan, atau (7) taghyir (perubahan bentuk pelaksanaan hukum), seperti melakukan shalat sambil berbaring bagi orang sakit yang tidak kuat berdiri atau duduk dan seperti shalat khauf.
Perubahan-perubahan hukum itu, yang disebut juga dengan takhfif atau keringanan, merupakan bentuk nyata dari salah satu prinsip hukum Islam, yaitu prinsip al-yusr dan ‘adamul haraj (kemudahan dan ketidaksempitan), dan sekaligus merupakan perwujudan prinsip utamanya, yaitu kemaslahatan. Prinsip ini telah ditegaskan dalam sejumlah ayat dan hadis antara lain sebagai berikut:
“...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
“...Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...” (QS. Al-Hajj [22]: 78).
“Permudahlah oleh kalian dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang pergi menjauh,” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas).
Kemudian dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaidah hukum yang cukup populer, yaitu “Al-Hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wjudan wa ‘adamuhu.” Kaidah ini menegaskan bahwa hukum itu berputar bersama dengan ‘illatnya, jika ada ‘illat maka ada hukum dan jika ‘illat itu tiada maka hukum pun menjadi tiada. Dengan demikian, ‘illat hukum adalah hal yang sangat berperan dan berpengaruh besar terhadap ada ataupun tiadanya sesuatu hukum. Suatu hukum yang bersendikan pada ‘illat dapat berubah apabila ‘illat itu berubah atau telah hilang. Contoh yang sangat populer yang biasa dikemukakan oleh para ulama tentang hal ini ialah mengenai hukum haramnya khamr (minuman keras yang terbuat dari perasan anggur). Keharaman khamar ini dikarenakan adanya ‘illat, yaitu iskar yakni unsur memabukkan yang terdapat dalam minuman tersebut. Apabila unsur itu hilang, khamar yang semula haram itu kemudian telah menjadi cuka hukumnya menjadi halal. Jelas di sini terdapat perubahan hukum yang disebabkan perubahan ‘illat hukum.
Persoalan “illat hukum” ini sebenarnya digunakan, antara lain, untuk memahami pensyariatan hukum. Apakah hukum yang disyariatkan itu mempunyai ‘illat sehingga berlakulah padanya kaidah di atas, yakni al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman, ataukah tidak mempunyai ‘illat – atau tidak diketahui ‘illatnya – sehingga kaidah itupun tidak berlaku. Bertitik tolak dari sini para ulama mengemukakan dua teori pendekatan dalam memahami setiap pensyariatan hukum Islam, ta’abbudi dan ta’aqquli. Ta’abbudi (irrasional), artinya hukum itu disyariatkan tanpa (perlu) diketahui ‘illatnya atau tidak bersandar pada ‘illat. Hukum semacam ini harus dilaksanakan apa adanya dan tidak mengenal perubahan. Sedang dimaksud dengan ta’aqquli (rasional) ialah bahwa hukum tersebut disyariatkan dengan bersendikan pada ‘illat atau dapat diketahui ‘illatnya. Hukum semacam ini hanya berlaku selama ‘illat itu ada sebagaimana dikemukakan di atas.
Jika pendekatan terhadap pensyariatan hadyu digunakan teori pertama, ta’abbudi, persoalannya menjadi mudah dan sudah selesai sampai di sini. Maksudnya, ajaran itu tinggal dipraktikkan apa adanya, tidak perlu direnungkan atau difikirkan kembali. Ptonglah hewan al-hadyu tersebut, kapanpun dan apapun yang terjadi, karena ajaran itu dipandang sebagai ibadah semata-mata kepada Allah yang tidak dapat dipahami latar belakang, ‘illat hukum, hikmah, dan tujuannya. Jika teori ini yang dipilih, pemikiran tentang reaktualisasi atau pembaruan hukum Islam harus dibuang jauh-jauh dan kaidah perubahan hukum pun yang sebenarnya telah ditegaskan dalam nas-nas Al-Quran dan hadis tidak perlu mendapat perhatian.
Akan tetapi, jika teori pendekatan kedua yang digunakan, tentu permaslahan dan kesimpulannya akan menjadi lain. Sebab, dengan teori ini latar belakang, situasi dan kondisi, ‘illat hukum, hikmah dan tujuan pensyariatannya dipandang dapat digali, ditelusuri, dan dipahami serta harus diperhatikan. Manakala hal-hal tersebut ternyata telah berubah, aplikasinya pun tentu perlu dirubah pula. Dengan demikian, pemikiran tentang pembaruan hukum Islam dapat dikembangkan, sehingga ia tidak tertinggal dan senatiasa dapat sejalan dengan perubahan zaman. Kaidah taghayyurul ahkam bi taghayyuril amkinati wal azman, hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan tempat dan waktu, pun bukan slogan kosong semata, melainkan menjadi kenyataan.
Dalam uraian-uraian di atas dikemukakan bahwa tujuan pensyariatan al-hadyu itu merupakan suatu isyarat untuk mensejahterakan kaum fakir miskin Mekah dalam bidang pangan, karena mereka kekurangan makanan yang disebabkan (‘illat hukumnya adalah) keadaan wilayah tempat mereka tinggal sangat tandus dan gersang sehingga tidak dapat menumbuhkan sesuatu yang dapat dijadikan makanan. Oleh karena itu, hadyu diharuskan berupa hewan ternak. Dengan demikian, dapatlah dinyatakan bahwa pensyariatan tersebut bersifat ta’aqquli. Bahwa pensyariatan ta’aqquli ini didukung oleh kebijaksanaan pemerintah Saudi, sebagaimana telah disinggung pada bagian pendahuluan di atas, untuk mendistribusikan daging hewan hadyu ke beberapa negara Islam yang dipandang masih memerlukannya, mengingat di Saudi sudah tidak diperlukan lagi. Tegasnya, apa yang dilakukan pemerintah Saudi menunjukkan ke-ta’aqquli-an ajaran hadyu karena menurut teks-teks hukum (kitab-kitab fiqh) hadyu itu diperuntukkan penduduk Mekah. Jika pemikiran ini dapat diterima tentu pelaksanaan hadyu dapat dikembangkan lebih lanjut.
Pada zaman dahulu, persoalan makanan merupakan masalah sangat diperlukan dan mendesak yang disebabkan oleh situasi dan kondisi tanah Mekah saat itu. Karenanya, wajar dan logislah bila hadyu pada pokonya diharuskan berupa makanan, dalam hal ini hewan ternak.
Dewasa ini, sebagaimana telah diungkapkan di atas, situasi dan kondisi Mekah telah berubah. Hal paling mendesak dan diperlukan umat Islam pun bukan persoalan makanan, melainkan maslaha pendidikan – pilar utama kemajuan dan kejayaan – yang masih banyak tertinggal jauh dari umat lain. Hal inipun tentu tidak berlaku bagi penduduk Mekah yang sudah menjadi negara kaya, melainkan bagi penduduk Musli di negara-negara lain. Atas dasar kenyataan demikian dan berpijak pada teori ta’aqquli, wajar dan logis pulalah jika pelaksanaan perintah hadyu ini perlu diadakan perubahan bentuk sesuai dengan kemaslahatan yang diperlukan pada masa kini. Sungguh akan sangat bermanfaat dan membawa kemaslahatan lebih besar bagi umat Islam apabila hadyu itu digunakan untuk membiayai pendidikan atau bidang lain yang sangat dibutuhkan umat. Oleh karena itu, penuanaian hadyu tersebut dapat pula berupa uang (alat tukar resmi), tidak harus berbentuk hewan, karena yang dimaksudkan adalah kemaslahatan dan kemanfaatannya, bukan wujud bendanya.
Di samping itu, perubahan dan penggantian wujud benda hadyu dengan uang (qimah, nilai) ini dapat dibenarkan melalui analogi (takhrij) kepada penunaian zakat harta, yang menurut sebagian ulama mazhab pembayarannya boleh dengan benda lain yang senilai dengan kadar kewajiban yang harus dikeluarkannya, tidak harus diambilkan dari ‘ain harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Demikian juga dengan zakat fitrah, menurut mazhab Hanafi tidak harus dengan jenis makanan pokok, tetapi dapat juga dengan mengeluarkan nilainya, baik uang maupun yang lain. Perubahan itu semua dapat dibenarkan, karena yang diperhatikan dan menjadi tujuan adalah kemaslahatan dan kemanfaatan si penerima di samping karena adanya perubahan situasi dan kondisi.
Kiranya patut dikemukakan di sini bahwa persoalan hadyu dengan qimah ini nampaknya telah pula diperbincangkan oleh para ulama terdahulul pada hampir 700 tahun yang lalu. Mayoritas ulama berpendapat bahwa pelaksanaan hadyu haruslah dengan memotong hewan, tidak dapat dengan mengeluarkan nilainya. Sementara itu, Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah (w.728 H) memandang pelaksanaan hadyu dengan memotong hewan tersebut hanya merupakan keafdalan/keutamaan. Ini berarti bahwa hadyu dengan mengeluarkan nilainya boleh dan sah dilakukan, hanya saja tidak afdal. Hal inilah dapat dipahami dari pernyataan beliau sebagaimana tertulis dalam bukunya al-fatawa, jilid 26 halaman 304 sebagai berikut:
“Melakukan kurban, aqiqah, dan hadyu (dengan hewan) lebih utama daripada menyedekahkan harga (nilai)nya.”
Apabila zaman dahulu telah ada yang berpendapat boleh dan sah pelaksanaan hadyu dengan mengeluarkan nilainya hanya saja hukumnya tidak afdal, kiranya tidak berlebihan jika kini ditegaskan bahwa yang afdal adalah mengeluarkan nilainya, bukan dengan memotong hewan, atas dasar pemikiran dan argumen (dalil) sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Dari uaraian di atas dapatlah ditegaskan di sini bahwa pensyariatan hadyu adalah syariah (qat’iy), dalam arti pensyariatannya tidak dapat dihapuskan dan terhadapnya tidak terdapat perbedaan pendapat. Sedangkan teknis pelaksanaannya termasuk kategori fiqh (zanny) atau masalah khilafiyah karena adanya perbedaan pendapat para ulama. Perbedaan pendapat tersebut berkaitan dengan dua hal. Pertama dalam soal bentuk, sebagian ulama (jumhur) berpendapat bahwa hadyu itu harus memotong hewan, sedang ulama yang lain berpendapat boleh dengan mengeluarkan qimah (nilainya). Dalam hal memotong hewan pun sebenarnya terdapat perbedaan pendapat, jumhur ulama berpendapat harus dipotong di Tanah Haram, sedang sebagian mazhab Syafi’i membolehkan pemotongannya di luar Tanah Harama tetapi dagingnya harus segera dikirimkan ke Tanah Haram dan dibagikan kepada fakir miskin.
Kedua, berkenaan dengan penggunaannya menurut sebagian besar ulama, hadyu hanyalah diperuntukkan bagi fakir miskin Tanah Haram. Sedang menurut ulama lainnya boleh diberikan kepada fakir miskin yang berada di luar Tanah Haram.
Perbedaan pendapat para ulama yang merupakan ciri khas dan watak fiqh dalam pandangan ajaran Islam, adalah suatu rahmat seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menghadapi persoalan fiqh tersebut kita dibolehkan, atau bahkan diharuskan, memilih pendapat yang paling dapat mewujudkan kemaslahatan bagi umat, sehingga dengan demikian akan tercapailah tujuan pensyariatan hukum (maqasid al-syariah). Kemaslahatan umat dari satu waktu ke waktu yang lain dan disatu tempat dengan di tempat lain mengalami perubahan dan perbedaan apa yang dianggap sebagai kemaslahatan.
Atas dasar itulah jika dikaitkan dengan persoalan teknis pelaksanaan hadyu, pendapat ulama yang menyatakan hadyu hanya boleh dilaksanakan dengan memotong hewan dan diperuntukkan fakir miskin Tanah Haram hanya relevan dengan kemaslahatan pada zamannya. Sedang untuk saat ini, kiranya yang paling relevan adalah pendapat yang membolehkan mengeluarkan hadyu dengan nilainya yang digunakan untuk kemaslahatan umat Islam di luar Tanah Haram.
Apabila usulan ini dapat diterima, bukan saja cara pelaksanaan hadyu akan lebih mudah dan praktis, tetapi juga problematika umat Islam di luar Saudi Arabia dalam bidang pendidikan maupun bidang sandang pangan yang sangat diperlukan itu akan segera teratasi. Hal ini mengingat dana dari hadyu cukup besar jumlahnya serta mudah diperoleh dan dihimpun.
Kesimpulan dan Penutup
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, antara lain:
1. Pensyariatan hadyu berbentuk hewan disebabkan situasi dan kondisi Mekah yang gersang dan tandus, sehingga persoalan makanan menjadi sangat penting bagi penduduk Mekah
2. Situasi dan kondisi Mekah kini sudah berubah. Sandang dan pangan bahkan pendidikan bagi penduduk Mekah tidak lagi menjadi masalah. Hal tersebut justru menjadi masalah bagi masyarakat di luar Saudi. Berarti sitausi dan kondisi Mekah pada saat disyariatkan hadyu yang pada prinsipnya mengharuskan berbentuk hewan telah berubah dan jaub berbeda dengan sitausi masa kini.
3. Menurut kaidah hukum Islam, hukum dapat berubah disebabkan perubahan ‘illat, situasi dan kondisi.
4. Atas dasar poin-poin tersebut, pelaksanaan hadyu dapat dirubah dengan dengan qimah (nilai, uang) dan didistribusikan kepada umat Islam di luar Saudi untuk membiayai keperluan mendesak mereka, baik menyangkut sandang, pangan, maupun pendidikan.
5. Hadyu yang dapat diganti dengan qimah tersebut adalah hadyu wajib dan tatawwu’, sedangkan hadyu nazar tidak dapat diganti.
6. Untuk mencapai tujuan pelaksanaan hadyu dengan qimah tersebut tidaklah dilakukan masing-masing pribadi, tapi hendaklah hadyu dengan qimah itu diserahkan kepad suatu lembaga resmi sehingga qimah-nya dapat terkumpul yang kemudian disalurkan untuk kemaslahatan, yakni untuk pembangunan umat.
Demikianlah penjelasan tentang masalah melakukan al-hadyu dalam bentuk hewan, baik berupa dam haji tamattu’, dam haji qiran maupun dam isa’ah, yakni dam karena meninggalkan yang wajib atau melanggar larangan. Masing-masing dam tersebut boleh dilakukan dengan qimah, yaitu uang (harga) hewannya. Qimah (harga) hewan tersebut dikumpulkan untuk menjadi dana bagi kepentingan kejayaan Islam. Penjelasan ini saya ungkapkan melalui makalah sebagaimana biasanya seminar.
Akan tetapi, jika kita kembali kepada bahasa ulama, izinkanlah saya mengungkapkannya sebagai berikut:
“Nabi Ibrahim a.s dalam doanya kepada Tuhan menyatakan bahwa ia membawa anaknya Isma’il dan ibundanya ke lembah yang dinamakan Mekah, daerah yang tandus dan gersang. Karena itu, ia memohon agar anak cucunya diberikan rizki untuk penghidupan mereka. Do’a nabi Ibrahim tersebut maqbul (dikabulkan Tuhan). Maka terbitlah mata air yang terkenal dengan nama sumur zam-zam. Dengan adanya sumur zam-zam, Mekah merupakan pelabuhan para kafilah. Dengan adanya air yang sangat didambakan itu, para kafilah kemudian mengadakan barter dengan Siti Hajar dan atau keturunannya. Selanjutnya, pada masa Islam, untuk jalan perolehan rizki itu, dimantapkanlah pensyariatan al-hadyu.
Setelah Mekah menjadi negeri makmur, kemakmuran dan pendidikan penduduk telah sampai pada tingkat yang dicita-citakan. Karena itu, fakir miskin secara umum tidak kelihatan lagi di Tanah Haram.
Ulama Mekah membenarkan tindakan Pemerintah Saudi yang menjadikan daging al-hadyu dikalengkan dan dieskan. Kemudian daging-daging tersebut dikirimkan ke daerah-daerah yang banyak fakir miskinnya seperti Afrika dan Bangladesh.
Dengan tindakan Pemerintah Saudi tersebut, timbullah reaksi dari para ulama atas dua golongan. Golongan pertama, membenarkan tindakan Pemerintah Saudi tersebut, dengan pengertian, al-hadyu-nya tetap berupa hewan yang disembelih di Mekah, kemudian dagingnya dikirim ke luar Mekah. Dasar pandangan golongan ini adalah dengan mengqiyaskannya pada pendapat ulama yang membolehkan memindahkan zakat ke daerah lain.
Golongan kedua, juga membenarkan dengan memandang bahwa boleh mengirimkan daging al-hadyu untuk fakir miskin yang berada di luar Mekah. Kebolehan demikian – menurut golongan ini – menunjukkan bahwa pensyari’atan al-hadyu adalah ma’qul al-ma’na. Dengan pengertian al-hadyu tersebut boleh diganti dengan qimah, tidak mesti berbentuk daging (hewan), sebagaimana pernah dilakukan oleh sahabat Mu’az dalam memungut zakat pada masa Rasulullah Saw. Dengan demikian, pelaksanaan al-hadyu dengan qimah ini diqiyaskan pada kebolehan mengeluarkan zakat dengan qimah (nilai).
Kebolehan hadyu dengan nilai sudah difatwakan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam bukunya “al-fatawa” jilid 26 halaman 304 sebagaimana telah dikutip di atas.
Tegasnya, dengan adanya perbedaan pendapat antara dua golongan tersebut, masalah pelaksanaan hadyu dengan qimah termasuk dalam kategori fiqh. Watak fiqh adalah khilafiyah, dan dalam memilih masalah khilafiyah kita tidak perlu melakukan tarjih. Karena itu, sesuai dengan kedudukan atau status kita, kita hanya menggunakan hak pilih. Dalam memilih pendapat marilah kita memilih pendapat yang menguntungkan kemaslahatan umat. Andaikata kita memilih pendapat yang membolehkan hadyu dengan qimah (nilai), maka, jika jamaah haji kita berjumlah 200.000 orang dan setiap orang mengeluarkan dam dengan qimah Rp. 250.000,00 (kurs riyal tahun 1995) maka jumlah dana hadyu setiap tahun adalah 200.000 X Rp. 250.000,00 = Rp. 50.000.000.000,00 ini berarti, setiap tahun kita akan mendapat dana sebanyak lima puluh milyar rupiah dari jamaah haji kita.
Andaikata umat Islam Indonesia mempunyai dana sebanyak lima puluh milyar dari dana tersebut, kita dapat meningkatkan pendidikan Islam melalui beasiswa, dan dapat pula turut serta memberikan jalan mengentaskan kemiskinan. Di samping itu, kita juga dapat mendirikan syi’ar-syi’ar sarana keagamaan dan sebagainya.
Demikianlah ungkapan saya dengan bahasa komisi fatwa.
Wallaahu a’lam bis shawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KH. Ahmad Dahlan: Tokoh Pembaru Islam Indonesia dan Pendiri Muhammadiyah

Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman

Masjid Al-Inayah Cipedak, Jagakarsa