Indahnya Hidup dengan 3 H

Islam memandang ”Halal” sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Allah Swt memerintahkan agar umat manusia selalu mencari sesuatu di muka bumi dengan yang halal dan menjauhi sesuatu yang haram, sebagaiman firman Allah Swt dalam Q.S Al-Baqarah ayat [2]: 168:
Artinya: “Wahai manusia! Makanlah yang halal dan baik dari makanan yang ada di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Halal yang akan dijelaskan di sini adalah Halal dalam memperoleh, Halal dalam mengkonsumsi dan Halal dalam memanfaatkan atau disebut dengan 3 H. Sedangkan saat ini, masih banyak orang yang terpaku pada Halal yang pertama yaitu Halal dalam memperoleh, tetapi melupakan Halal mengkonsumsi dan Halal memanfaatkan. Karena betapa pentingnya hidup halal ini, maka Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencanangkan secara nasional gerakan 3 H ini.
Mari kita bahas 3 H ini. Halal yang pertama adalah Halal dalam memperoleh. Halal memperoleh adalah cara memperoleh barang atau rezeki dengan jalan yang halal. Cara yang halal merupakan jalan yang lurus bagi umat Islam. Ada beberapa cara dalam memperoleh yang halal.
Pertama, Menyuburkan praktek transaksi jual-beli. Sudah tidak diragukan lagi bahwa model jual-beli merupakan sesuatu yang dibolehkan dalam ajaran Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275:
“…….Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengaharamkan riba…..”
Ada beberapa model transaksi jual-beli yang sering dipraktekkan oleh industri perbankan syariah di Indonesia, di antaranya adalah Ba’i bitsaman ajil, yaitu transaksi jual-beli di mana harganya ditangguhkan sedangkan barangnya diserahkan secara tunai, atau sering disebut dengan pembayaran jatuh tempo. Bisa jadi pembayarannya dilakukan sebulan kemudian atau tiga bulan kemudian sesuai dengan waktu yang disepakati.
Model transaksi yang selanjutnya adalah murabahah, yaitu jual-beli yang pembayarannya dilakukan dengan cara mencicil dengan waktu dan cicilan yang disepakati bersama. Contoh si A membeli TV 21 inch kepada si B seharga satu juta dua ratus ribu rupiah, pembayarannya dengan dicicil selama 10 bulan dengan cicilan perbulannya 120 ribu rupiah, maka inilah yang disebut dengan jual-beli murabahah.
Adapun transaksi berikutnya adalah ba’i salam. Transaksi ba’i salam ini merupakan kebalikan dari transaski ba’i bitsaman ajil. Yaitu, uang untuk pembayaran sudah diserahkan secara tunai, namun barangnya akan diserahkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Sedangkan model transaksi selanjutnya adalah jual-beli istishna merupakan pengembangan dari model jual-beli salam. Perbedaannya terletak pada proses pembayarannya. Jual-beli istishna memungkinkan adanya pembayaran secara cicilan dengan uang muka (urbun).
Kedua, menghindari praktek riba atau bunga. Islam melarang praktek riba atau bunga, karena di dalamnya mengandung unsur aniaya (dzulm). Sebagaiman firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 275:

“…….Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengaharamkan riba…..”
Sedangkan Rasulullah Saw dalam menggambarkan betapa dosa riba sangat besar adalah dari hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim: ”Dosa riba adalah lebih besar di sisi Allah Ta’ala daripada tiga puluh tiga perzinaan yang dilakukan oleh seorang lelaki dalam Islam.”
Atau hadis yang lain dari Hayatul Qulub: ”Satu dirham yang dimakan oleh seorang lelaki, padahal dia tahu, adalah lebih besar daripada tiga puluh enam perzinaan.”
Melihat sabda rasulullah Muhammad Saw, betapa besar dosa orang yang memakan harta riba, bahkan hanya satu dirhampun. Maka semaksimal mungkin kita harus menjauhi riba tersebut yang pada saat ini direpresentasikan dengan bunga di bank konvensional atau lemabaga keuangan yang menganut sistem bunga ini.
Ketiga, menghindari praktek korupsi. Sama-sama kita ketahui bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi budaya yang berlangsung selama puluhan tahun dan belum dapat di basmi, malahan semakin subur dan semakin canggih agar tidak dapat dilacak oleh pihak yang berwewenang menangani korupsi ini. Meskipun dengan korupsi kita akan semakin kaya dan kekayaan bertambah dengan cepat, tetapi hal itu dilarang dalam Islam, karena sama saja kita mencuri atau merampok dan sudah pasti itu bukan hak kita.
Keempat, menghindari menerima suap. Suap ini sama pertumbuhannya setali tiga uang dengan korupsi di Indonesia. Suap yang dipraktekkan biasanya akan disebut dengan insentif atau biaya-biaya lain yang sebenarnya mengarah ke sana (suap). Rasulullah saw bersabda:
“Yang memberi suap dan menerima suap kedua-duanya tempatnya adalah neraka”
Praktek suap ini mengandung unsur mempengaruhi keputusan yang tidak seharusnya dan merugikan bagi pihak lain yang seharusnya mendapatkan haknya. Oleh karena itu, memperoleh rezeki atau harta dari menerima suap termasuk perilaku non halal dan diharamkan dalam ajaran islam.
Kelima, menghindari rezeki dari hasil perjudian. Rezeki yang dihasilkan dari perjudian sangat dilarang dalam Islam dan termasuk pendapatan non halal. Apalagi saat ini, perjudian semakin canggih dan sudah mengarah ke arah legal (sah secara hukum), ini dapat kita lihat dengan sms berhadiah atau kuis-kuis berhadiah yang marak di televisi.
Setelah kita membahas Halal dalam memperoleh, maka selanjutnya kita membahas secara singkat halal yang kedua yaitu Halal dalam Mengkonsumsi.
Harta yang sudah kita dapatkan secara halal dengan susah payah, tidak akan bermakna jika akhirnya dibelanjakan untuk sesuatu yang haram. Berbicara masalah konsumsi barang-barang haram akan sangat erat kaitannya dengan makanan, minuman, kosmetika dan obat-obatan yang berasal dari bahan-bahan haram dan najis. Karena hal itulah yang meyebabkan produk tersebut menjadi tidak halal.
Sebagai konsumen muslim, kita harus berusaha semaksimal mungkin memilih makan, obat dan kosmetika yang terjamin kehalalannya. Apalagi saat ini begitu banyak makanan yang beredar di tengah-tengah kita baik dari dalam dan luar negeri. Ketidak-halalan itu bisa dilihat dari aspek bahan-bakunya, bahan tambahannya, bahan penolong, maupun cara pengolahannya yang tidak halal. Hal ini dipicu dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Secara umum ada kategori makanan yang dikonsumsi manusia, yakni nabati, hewani dan produk olahan. Makanan yang berasal dari hewan terbagi dua, yaitu yang berasal dari hewan laut yang secara keseluruhan adalah halal, dan hewan darat yang hanya sebagian kecil saja yang dilarang untuk dikonsumsi. Sementara untuk makanan olahan kehalalannya tergantung dari pengolahan dan dari bahan (baku, tambahan, dan atau penolong.
Adapun yang dilarang oleh Allah untuk dikonsumsi adalah sebagai berikut bangkai, darah dan babi yang dilarang seluruhnya baik itu, lemak, daging maupun bagian-bagian lainnya, yang disembelih atas nama selain Allah Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Maidah ayat 3:
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.......”
Selain itu yang diharamkan oleh Allah adalah khamr (alkohol) sehingga apapun minuman yang berakohol baik sedikit adalah haram. Begitu pula dengan makanan yang menggunakan khamr (alkohol) untuk menambah kelezatan juga haram. Allah dalam firmannya surat al-Maidah ayat 90 menegaskan keharaman khamr (alkohol).
“ Wahai orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Dalam mudzakarah Nasional yang diselenggarakan oleh LP POM MUI pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1993 di Jakarta, yang mendapat sambutan luar biasa, diperoleh kesepakatan mengenai status hukum minuman beralkohol, sedikit atau banyak hukumnya haram. Demikian pula dengan kegiatan memproduksi, mengedarkan, memperdagangkan, membeli, dan menikmati hasil atau keuntungan dari perdagangan minuman beralkohol.
Halal yang ketiga adalah Halal dalam memanfaatkan. Setelah kita sudah melaksanakan Halal dalam memperoleh dan Halal dalam mengkonsumsi, maka kita perlu juga memperhatikan halal dalam memanfaatkan.
Saudara-saudara yang berbahagia. Sesungguhnya rezeki yang kita peroleh adalahnanugerrah yang Allah berikan kepada kita semua, ini pertanda bahwa Allah Swt memberikan kepercayaan kepada kita untuk mendapatkan karunia rezeki-Nya. Maka sudah seyogyanyalah kita manfaatkan di jalan yang diridhai oleh Allah Swt. Adapun jalan yang diridhai oleh Allah Swt adalah sebagai berikut:
1. Memberikan nafkah untuk keluarga
Menjadi kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah kepada keluarganya. Nafkah ini diambil dari harta dan rezeki hasil usaha yang dikerjakannya. Beberapa hadits Nabi menunjukkan kemuliaan orang yang menafkahi keluarganya:
Diriwayatkan dari Ali karramahullah wajhah, bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda: ”Dibawah naungan al-’Arsy pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, ditempatkan lelaki yang melakukan perjalanan di bumi dalam mencari keutamaan Allah (rezeki), lalu kembali kepada keluarganya.”
Diriwayatkan oleh Ali karramahullah wajhah, bahwa seseorang lelaki datang menemui Nabi Saw menanyakan tentang usaha yang lebih baik. Beliau bersabda: ”Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap transaksi jual-beli yang dibenarkan. Allah sesungguhnya menyukai orang beriman yang profesional, dan orang yang menderita karena membiayai keluarganya tak ubahnya seperti pejuang di jalan Allah.”
2. Mengeluarkan kewajiban zakat
Selain kewajiban memberikan nafkah keluarga, hak atas harta yang dimiliki adalah kewajiban mengeluarkan zakat. Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim karena merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima (5).sebagaiman firman Allah Swt dalam QS. At-Taubah ayat 103:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketentraman jiwa buat mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Selain untuk menyucikan diri dan harta zakat juga memberikan manfaat sebagai penyeimbang pendapatan antara yang kaya dan yang miskin dan berpotensi mengentaskan kemiskinan jika dikelola dengan baik.
3. Mengintensifkan infak dan sedekah
Selain kewajiban mengeluarkan zakat atas harta yang kita miliki, Islam memberikan tuntunan kepada umatnya, agar memanfaatkan harta yang diperolehnya melalui kegiatan infak dan sedekah. Banyak sekali dalil yang mendorong umat Islam untuk memperbanyak infak dan sedekah, di antaranya QS. Al-Baqarah [2] ayat 195:
“Dan belanjakankanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Dapat dimengerti bahwa infak dan sedekah merupakan salah satu alternatif dalam memanfaatkan harta yang sesuai dengan kehendak syar’i.
4. menginvestasikan sesuai dengan syariah Islam
Selain hal-hal di atas, kita juga dapat memanfaatkan harta atau rezeki yang kita miliki dengan menginvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Saat ini sudah banyak lembaga keuangan syariah (LKS) yang dapat dimanfaatkan untuk menginvestasikan harta yang dimiliki sesuai dengan syariah. Seperti bank syariah, asuransi syariah dan lembaga lainnya yang mengacu dengan prinsip-prinsip syariah.
5. Menggiatkan praktek wakaf
Harta kekayaan yang kita peroleh dapat dimanfaatkan untuk keperluan wakaf. Saat ini, wakaf telah dikenal luas oleh umat Islam di seluruh dunia. Bahkan di beberapa negara Timur-Tengah, termasuk diantaranya Mesir, telah menjadikan wakaf sebagai alat penggerak pembangunan.
Wakaf difahami sebagai amalan yang pahalnya akan terus mengalir, tidak terputus meskipun orang yang mewakafkan telah meninggal dunia. Sebagaiman dalam sabda Nabi Muhammad Saw: Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: Apabila manusia wafat terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat dan do’a anak yang shaleh.” (HR. Imam Muslim)
H yang ketiga adalah halal memanfaatkan. Cara memanfaatkan rezeki atau harta tersebut sesuai dengan kehendak pemilik-Nya, yaitu kehendak Allah Swt. Atas dasar inilah, kita selaku umat Islam, dituntut untuk menyesuaikan diri dalam memanfaatkan harta itu sesuai dengan tuntunan syariah Islam.
Rezeki yang kita dapatkan merupakan anugerah yang telah diberikan Allah Swt. Ini pertanda bahwa Allah Swt masih mempercayai kita sebagai hamba-Nya untuk mendapatkan karunia dan rezeki dari-Nya. Beberapa petunjuk dalam memanfaatkan harta sudah diatur dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Dari ketentuan yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dapat diketahui beberapa cara memanfaatkan harta yang sesuai dengan syariah Islam, diantaranya yaitu dengan memberikan nafkah kepada keluarga, mengeluarkan kewajiban zakat, mengintensifkan Infak dan sedekah, memanfaatkan harta di jalan Allah (fi sabilillah) serta menginvestasikannya sesuai dengan syariah Islam.
Semoga kita semua diberikan kekuatan oleh Allah Swt untuk selalu istiqamah memperoleh harta dan mengkonsumsi harta, serta memanfaatkannya dengan cara yang halal.(www.pkesinteraktif)
Oleh: Zarkasih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman

KH. Ahmad Dahlan: Tokoh Pembaru Islam Indonesia dan Pendiri Muhammadiyah